Data Buku
Reysa mulai menceritakan masa lalunya. Ia memulai dengan bercerita tentang kehidupan remajanya. Gadis itu hanya hidup bersama ibunya. Tidak ada kata 'bapak' dalam kenangannya. Namun, meski merasa cukup dengan limpahan kasih sayang dari ibunya, Reysa tetap ingin tahu siapa ayahnya. Seringkali ia mendapati ibunya mengigau dalam tidur, membisikkan sebuah nama yang asing di telinganya. Edwin.
Pada akhirnya Ibu Reysa, Endang, menceritakan kisahnya.
Endang hanyalah gadis desa biasa. Ekonomi keluarganya dibawah rata-rata. Ibunya adalah wanita desa yang masih meyakini idiom jawa, bahwa laki-laki adalah pangeran kathon. Perempuan hanya bisa menuruti apa kata suami, tidak bisa membantah
Dibalik segala kekurangannya, Endang juga pernah mengalami kebahagiaan. Seperti wanita pada umumnya, Endang pernah jatuh cinta. Cinta pertamanya bernama Edwin. Pada Edwin, Endang menyerahkan segalanya. Cinta, bahkan kehormatannya. Ia yakin ia telah menyerahkan miliknya yang berharga pada orang yang tepat. Hingga suatu hari musibah itu menimpa. Endang mengandung. Awalnya ia tak yakin, karena ia hanya melakukannya dua kali dengan Edwin. Namun ternyata ia benar-benar mengandung. Ketika itu Endang merasa kalut, takut. Takut mengecewakan ibunya yang sudah berharap banyak padanya.
Diluar dugaan ibu Endang tak marah sama sekali. Ia malah melarang Endang untuk menggugurkan bayi dalam kandungannya. Ia bahkan memperjuangkan nasib anak semata wayangnya tersebut. Dengan mengerahkan segenap keberanian, Sri, ibu Endang, mendatangi rumah orangtua Edwin untuk meminta pertanggungjawaban. Dan,seprti yang saya duga, permintaan Sri ditolak mentah-mentah oleh orangtua Edwin.
Semuanya terjadi begitu saja. Edwin dikabarkan meninggal. Endang dinikahkan dengan Mulyono, lelaki biadab yang hanya memandang perempuan sebagai pemuas nafsu. Tak tahan dengan kelakuan suaminya, Endang memutuskan untuk bercerai dan membesarkan Reysa sendiri. Berbekal ijazah SMA-nya, Endang mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan ternama. Ia bertekad untuk membesarkan Reysa menjadi wanita yang tangguh, cerdas, dan berpendidikan.
Reysa tumbuh sesuai dengan harapan ibunya. Ia sukses. Namun entah mengapa, ia merasa memiliki dendam pada lelaki. Lelaki-lah yang membuat nasib nenek dan ibunya terpuruk. Ia tidak boleh terpuruk seperti mereka. Ia memutuskan untuk menundukkan setiap lelaki yang dekat dengannya, lalu meninggalkan mereka seperti onggokan sampah.
Sampai akhirnya berbagai peristiwa menghujani kehidupannya. Munculnya lelaki misterius bernama Djon, rasa muak Dina terhadap kelakuan Reysa, pembalasan dendam seseorang yang berujung pada kematian...
Akankah secercah cahaya harapan menerangi kehidupan Reysa yang muram?
Tidak seperti novel 'berat' yang lain, Safir Cinta menggunakan bahasa ringan. Tidak terlalu teoritis dan menggurui, padahal berbagai pengetahuan disisipkan dengan lihai oleh penulis. Dengan membaca novel ini, tanpa terasa kita akan belajar banyak hal. Budaya Jawa, bahkan geografi pun masuk dengan mulusnya dalam novel ini.
Yang paling membuat saya kagum adalah munculnya adegan pembunuhan Reysa. Wow. Saya awalnya sempat mengira novel ini hanya berisi tumpahan air mata. Saya salah sepenuhnya. Adegan pembunuhan dan konspirasi seperti dalam novel-novel konspirasi faforit saya juga muncul disini. Hebat. Dua jempol saya berikan dengan tulus untuk Bunda Fara.
Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang membuat saya sedikit terganggu saat membaca novel ini. Nama. Kelihatannya memang sepele, tapi menurut saya tidak. Nama adalah nyawa tokoh dalam sebuah cerita. Nama akan memengaruhi kesan pembaca dalam menjiwai karakter tokoh.
Sebelumnya mohon maaf. Saya memang masih SMA dan bisa dibilang masih baru dalam menulis. Menurut saya, pemilihan nama dalam novel ini terkesan asal comot. Lihat saja seperti nama Sri, Endang, Mulyono. Benar-benar nama umum. Jika ada yang bilang pemilihan namanya menyesuaikan latar belakang tokoh, ya. Tokoh yang saya sebutkan diatas memang ndeso. Mohon maaf sebelumnya, tapi nama ndeso yang bagus juga banyak. Jika seandainya pemilihan nama tokoh lebih dipertimbangkan, pasti novel ini akan sangat bagus.
Yang kedua adalah cara penyampaian cerita.
Dalam beberapa subjudul, ada heading seperti 'tentang ibu', 'catatan Dina', dan lain-lain. Semuanya dituturkan lewat sudut pandang orang ketiga, padahal sudah ada heading sudut pandang tokoh. Entah mengapa, hal ini membuat saya sedikit bingung dan harus berkali-kali membuka halaman sebelumnya untuk menyambungkan rantai kisah novel ini. Menurut saya, akan lebih menarik jika novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama pada setiap sudut pandang tokoh, seperti pada novel DRACULA karya Bram Stoker. Novel tersebut menggunakan sudut pandang orang pertama, tapi berbeda tokoh dengan bentuk seperti catatan harian. Cara penyampaian tersebut membuat pembaca beimajinasi seluruh kejadian dalam novel adalah nyata.
Dalam catatannya, Bunda Fara berkata bahwa setelah membaca novel ini, pembaca akan bisa berenang. Berenang air mata. Saya tidak membantah hal itu. Meski air mata saya kering selama bagian awal dan tengah cerita, tapi air mata saya membanjir saat akhir cerita. Asal anda tahu, hal ini sangat jarang terjadi. Jika saya menangis karena sebuah novel, itu berarti novel itu benar-benar menyentuh. Saya berani menjaminnya.
Terlepas dari kekurangannya, saya merasa novel ini bagus. Bacalah, maka anda dapat mengetahui sisi lain seorang wanita. Wanita tak sepenuhnya seperti yang terlihat. Dibalik kelembutannya, seorang wanita pasti memiliki sisi lain. Sisi lain yang dapat menghantam apapun. Menghancurkan apapun. Bagi anda yang wanita, anda pasti mengakui hal itu.
foto novel saya beserta tanda tangan penulis :) |